Dunia maju dan
berkembang saat ini menuntut profesionalitas dan kompetensi di
berbagai bidang dalam wadah jaringan dan jalinan sinergitas dan kemitraan.
Indikasi profesionalitas dan kompetensi adalah adanya deskripsi job yang jelas
dan dipatuhi. Masing-masing pihak mengetahui posisi, fungsi, dan perannya
secara disiplin, sehingga tidak terjadi overlapping (tumpang tindih).
Profesionalitas dan
kompetensi yang ditandai dengan adanya deskripsi job ini telah dipopulerkan
dalam agama islam melalui ajaran-ajarannya yang turun dari Allah swt. Salah
satu diantaranya kita bisa memperhatikan ekselensi deskripsi job antara tangan
kanan dan tangan kiri. Ummul mu’minin, Aisyah ra., menuturkan
Adalah tangan
Rasulullah saw. Sebelah kanan untuk bersuci dan makan, sedang tangan kiri untuk
urusan belakang dan hal-hal yang bermakna negative. (H.R. Abu Dawud ra. Sunan
Abu Dawud jilid 1 hal. 9 no. 33)
Ummul mu’minin,
Hafshah binti Umar ra. Menegaskan juga,
Dahulu Nabi saw. Menjadikan
tangan kanan beliau untuk makan, minum, dan memakai baju, dan menjadikan tangan
kiri beliau untuk perkara selain itu. (H.R. Abu Dawud ra. Sunan Abu Dawud jilid
1 hal. 8 no. 32)
Dua pernyataan dari
dua ibunda kaum muslimin ini menunjukkan pembagian tugas yang jelas antara
tangan kanan dan tangan kiri, melalui implementasi dan aplikasi kehidupan
Rasulullah saw. sehari-hari. Tangan kanan berperan dan berfungsi untuk bersuci,
makan, minum, memakai baju, dan hal-hal yang positif, seperti berjabat tangan, memberi,
mengambil, menulis, dsb. Sedang tangan kiri untuk urusan belakang dan hal-hal
yang bermakna negative.
Hal ini bersesuaian
dengan makna nama bahasa masing-masing, sebagaimana telah kita kemukakan di
awal. Tangan kanan, sebagai yang diberkahi dan terhormat, kodratnya menangani
hal-hal yang positif, mulia, dan luhur. Sementara tangan kiri, sebagai yang
gampangan dan bernasib tidak mujur, kodratnya menangani hal-hal yang jelek dan
negative. Dan ihwal ini, sekali lagi, bukanlah diskriminatif dan pilih kasih,
bukan pula bentuk rivalitas, tetapi bagian dari keadilan dan keharmonisan,
menempatkan sesuatu pada tempat, kedudukan, dan posisi yang semestinya, di
samping pengejawantahan dari kemitraan dan sinergisis.
Dengan pembagian tugas
yang tampak terang dan jelas ini, kita tidak boleh memperlakukannya secara
semena-mena dan tumpang tindih. Tugas menangani persoalan istinja’, misalnya,
adalah bagian tangan kiri, maka sekali-kali kita tidak boleh beristinja’ dengan
menggunakan tangan kanan. Overlapping.
Imam Muhammad nin
Ismail al-Bukhari dan Imam Muslim bin Hajjal an-Naisaburi, keduanya membuat
judul dalam shahihnya, “Bab larangan beristinja’ dengan tangan kanan.” (Shahih
Bukhari jilid 1 hal. 41 dan Shahih Muslim jilid 1 hal. 138)
Sebagaimana kita tidak
boleh beristinja’ dengan tangan kanan, kita juga tidak boleh memegang kemaluan
dengan tangan kanan. Adalah bukan ada tempatnya, tangan kanan yang mulia dan
terhormat kita jalinkan dengan kemaluan yang negative. Saat buang air kecil,
kalau perlu memegang kemaluan (zakar), maka kita mempergunakan tangan kiri.
Sahabat Haris bin
Rib’I ra., yang dikenal dengan gelar Abu Qatadah, meriwayatkan hadist dari
Rasulullah saw. beliau bersabda,
“Jika salah satu dari
kamu buang air kecil, maka tidak boleh sekali-kali dia memegang kemaluannya
dengan tangan kanan, dan tidakboleh pula istinja’ dengan tangan kanan. (H.R.
Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari jilid 1 hal. 41 dan Shahih Muslim jilid 1
hal. 138 no. 267)
Hadits ini menurut
Imam ash-shan’ani, menjadi dalil haram menyentuh kemaluan dengan tangan kanan
dan haram beristinja’ (bersuci sehabis buang air) dengan tangan kanan.
Pendangan ini diikuti oleh ulama kalangan Dzhahiriyah dan sekelompok ulama dari
madzhab Syafi’iyah. Sementara Jumhur (mayoritas) Ulama mengarahkan hadits ini
pada makna adab, tatakrama, dan etika, yakni rasanya tidak etis memegang
kemaluan dan beristinja’ dengan menggunakan tangan kanan. (Subulus Salam jilid
1 hal. 78)
Sahabat agung nan
mulia, Usman bin Affan ra., menyatakan, “ Aku tidak pernah menyentuh kemaluanku
dengan tangan kanan semenjak aku berjanji setia mengenai hal itu kepada
Rasulullah saw. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 hal. 131 no. 318). Sementara sahabat
agung nan mulia, Ali bin Abi Thalib ra., konon tidak pernah melihat
kemaluannya, Allahu Akbar, sehingga atribut kehormatan, “ Karramallah wajhah”
(semoga Allah senantiasa memuliakannya), disandangkan kepadanya. Alangkah
tingginya adab beliau.
Dari sahabat Abu
Hurairah ra., Rasulullah saw. menegaskan,
“Jika salah seorang
dari kamu melakukan istithabah (istinja’), maka hendaklah dia tidak
beristithabah dengan memakai tangan kanan. Ia hendaklah beristinja’ dengan
tangan kiri. (H.R. Ibnu Majah jilid hal. 131 no. 319).
Sebagaimana
beristinja’ dan memegang kemaluan dengan tangan kanan, termasuk kategori
tindakan semena-mena (dzalim) dan overlapping pula adalah berjabat tangan
dengan memakai tangan kiri, memakai baju dengan mendahulukan tangan kiri,
memberi dengan tidak memakai tangan kanan, mengambil mushaf Al-Qur’an dengan
tangan kiri, dsb. Karena tidak menempatkan fungsi tangan kanan dan kiri pada
tempat yang semestinya, kecuali bila kondisi darurat atau hajat.
Aturan deskripsi job
tangan kanan dan tangan kiri yang ditetapkan oleh agama islam tampak ekselen
dan elegan serta ideal dan harmonis di samping hanif (lurus), sesuai fitrah,
dan mudah, maklum, karena aturan itu datang dari sunnah-sunnah Rasulullah saw.
(Ahmad Syarifudin,
Misteri Tangan Kanan, hal 49-51, penerbit : Bina Ilmu Ananda/Bian, Surabaya)
No comments:
Post a Comment