Monday, 21 October 2019

DESKRIPSI KINERJAA TANGAN KANAN DAN TANGAN KIRI


Dunia maju dan berkembang saat ini menuntut profesionalitas dan kompetensi di berbagai bidang dalam wadah jaringan dan jalinan sinergitas dan kemitraan. Indikasi profesionalitas dan kompetensi adalah adanya deskripsi job yang jelas dan dipatuhi. Masing-masing pihak mengetahui posisi, fungsi, dan perannya secara disiplin, sehingga tidak terjadi overlapping (tumpang tindih).

Profesionalitas dan kompetensi yang ditandai dengan adanya deskripsi job ini telah dipopulerkan dalam agama islam melalui ajaran-ajarannya yang turun dari Allah swt. Salah satu diantaranya kita bisa memperhatikan ekselensi deskripsi job antara tangan kanan dan tangan kiri. Ummul mu’minin, Aisyah ra., menuturkan
Adalah tangan Rasulullah saw. Sebelah kanan untuk bersuci dan makan, sedang tangan kiri untuk urusan belakang dan hal-hal yang bermakna negative. (H.R. Abu Dawud ra. Sunan Abu Dawud jilid 1 hal. 9 no. 33)

Ummul mu’minin, Hafshah binti Umar ra. Menegaskan juga,
Dahulu Nabi saw. Menjadikan tangan kanan beliau untuk makan, minum, dan memakai baju, dan menjadikan tangan kiri beliau untuk perkara selain itu. (H.R. Abu Dawud ra. Sunan Abu Dawud jilid 1 hal. 8 no. 32)

Dua pernyataan dari dua ibunda kaum muslimin ini menunjukkan pembagian tugas yang jelas antara tangan kanan dan tangan kiri, melalui implementasi dan aplikasi kehidupan Rasulullah saw. sehari-hari. Tangan kanan berperan dan berfungsi untuk bersuci, makan, minum, memakai baju, dan hal-hal yang positif, seperti berjabat tangan, memberi, mengambil, menulis, dsb. Sedang tangan kiri untuk urusan belakang dan hal-hal yang bermakna negative.

Hal ini bersesuaian dengan makna nama bahasa masing-masing, sebagaimana telah kita kemukakan di awal. Tangan kanan, sebagai yang diberkahi dan terhormat, kodratnya menangani hal-hal yang positif, mulia, dan luhur. Sementara tangan kiri, sebagai yang gampangan dan bernasib tidak mujur, kodratnya menangani hal-hal yang jelek dan negative. Dan ihwal ini, sekali lagi, bukanlah diskriminatif dan pilih kasih, bukan pula bentuk rivalitas, tetapi bagian dari keadilan dan keharmonisan, menempatkan sesuatu pada tempat, kedudukan, dan posisi yang semestinya, di samping pengejawantahan dari kemitraan dan sinergisis.

Dengan pembagian tugas yang tampak terang dan jelas ini, kita tidak boleh memperlakukannya secara semena-mena dan tumpang tindih. Tugas menangani persoalan istinja’, misalnya, adalah bagian tangan kiri, maka sekali-kali kita tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan tangan kanan. Overlapping.

Imam Muhammad nin Ismail al-Bukhari dan Imam Muslim bin Hajjal an-Naisaburi, keduanya membuat judul dalam shahihnya, “Bab larangan beristinja’ dengan tangan kanan.” (Shahih Bukhari jilid 1 hal. 41 dan Shahih Muslim jilid 1 hal. 138)

Sebagaimana kita tidak boleh beristinja’ dengan tangan kanan, kita juga tidak boleh memegang kemaluan dengan tangan kanan. Adalah bukan ada tempatnya, tangan kanan yang mulia dan terhormat kita jalinkan dengan kemaluan yang negative. Saat buang air kecil, kalau perlu memegang kemaluan (zakar), maka kita mempergunakan tangan kiri.

Sahabat Haris bin Rib’I ra., yang dikenal dengan gelar Abu Qatadah, meriwayatkan hadist dari Rasulullah saw. beliau bersabda,
“Jika salah satu dari kamu buang air kecil, maka tidak boleh sekali-kali dia memegang kemaluannya dengan tangan kanan, dan tidakboleh pula istinja’ dengan tangan kanan. (H.R. Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari jilid 1 hal. 41 dan Shahih Muslim jilid 1 hal. 138 no. 267)

Hadits ini menurut Imam ash-shan’ani, menjadi dalil haram menyentuh kemaluan dengan tangan kanan dan haram beristinja’ (bersuci sehabis buang air) dengan tangan kanan. Pendangan ini diikuti oleh ulama kalangan Dzhahiriyah dan sekelompok ulama dari madzhab Syafi’iyah. Sementara Jumhur (mayoritas) Ulama mengarahkan hadits ini pada makna adab, tatakrama, dan etika, yakni rasanya tidak etis memegang kemaluan dan beristinja’ dengan menggunakan tangan kanan. (Subulus Salam jilid 1 hal. 78)

Sahabat agung nan mulia, Usman bin Affan ra., menyatakan, “ Aku tidak pernah menyentuh kemaluanku dengan tangan kanan semenjak aku berjanji setia mengenai hal itu kepada Rasulullah saw. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 hal. 131 no. 318). Sementara sahabat agung nan mulia, Ali bin Abi Thalib ra., konon tidak pernah melihat kemaluannya, Allahu Akbar, sehingga atribut kehormatan, “ Karramallah wajhah” (semoga Allah senantiasa memuliakannya), disandangkan kepadanya. Alangkah tingginya adab beliau.

Dari sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. menegaskan,
“Jika salah seorang dari kamu melakukan istithabah (istinja’), maka hendaklah dia tidak beristithabah dengan memakai tangan kanan. Ia hendaklah beristinja’ dengan tangan kiri. (H.R. Ibnu Majah jilid hal. 131 no. 319).

Sebagaimana beristinja’ dan memegang kemaluan dengan tangan kanan, termasuk kategori tindakan semena-mena (dzalim) dan overlapping pula adalah berjabat tangan dengan memakai tangan kiri, memakai baju dengan mendahulukan tangan kiri, memberi dengan tidak memakai tangan kanan, mengambil mushaf Al-Qur’an dengan tangan kiri, dsb. Karena tidak menempatkan fungsi tangan kanan dan kiri pada tempat yang semestinya, kecuali bila kondisi darurat atau hajat.

Aturan deskripsi job tangan kanan dan tangan kiri yang ditetapkan oleh agama islam tampak ekselen dan elegan serta ideal dan harmonis di samping hanif (lurus), sesuai fitrah, dan mudah, maklum, karena aturan itu datang dari sunnah-sunnah Rasulullah saw.
(Ahmad Syarifudin, Misteri Tangan Kanan, hal 49-51, penerbit : Bina Ilmu Ananda/Bian, Surabaya)


No comments:

Post a Comment

GETARAN - IPA KELAS 8 SEMESTER GENAP

Apakah Bunyi itu? Bagaimana manusia dapat mendengar? Proses mendengar merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan oleh adanya “Getaran” da...