Hari itu
para tokoh masyarakat sedang berkumpul di balai pertemuan. Mereka sedang
membahas pemberian nama kampong mereka. Sebenarnya sudah berkali-kali pertemuan
itu dilakukan, namun tak pernah ada kata sepakat tentang nama kampong mereka
itu. Pertemuan itu adalah pertemuan khusus. Artinya, yang datang hanyalah para
tokoh. Sejak dulu, setiap kali diadakan pertemuan, tak akanada orang lain yang
diizinkan masuk. Jika ada, makaorang itu dianggap melanggar peraturan. Dan
orang itu pasti kena sanksi.
Akan tetapi, tidak demikian dengan Ki Agus Sulaiman. Ia adalah
anak muda dari sebuah keluarga di kampong itu. Ayahnya seorang petani miskin.
Namun, karena Ki Agus Sulaiman anak semata wayang, ia sangat disayangi oleh
kedua orang tuanya. Ki Agus Sulaiman di belikan alat musik seperti gitar,
rebana, dan suling. Dengan alat music yang dimilikinya, Ki Agus Sulaiman
bernyanyi layaknya seorang pengamen. Ia keluar-masuk kampong. Ki Agus Sulaiman
pintar memilih-milih lagu. Tak heran pula bila kehadiran Ki Agus Sulaiman
selalu dinanti-nanti. Dan Ki Agus Sulaiman nukan hanya pandai bernyanyi, ia
juga pandai berjoget.
Maka pada hari itu Ki Agus Sulaiman masuk ke dalam balai
pertemuan. Tengah para tokoh berdalih-dalih dengan pemberian nama kampong, Ki
Agus dating dan membawakan lagu-lagunya.
Para tokoh masyarakat di balai pertemuan itu terperangah melihat
penampilan Ki Agus Sulaiman. Ada yang menganggap perbuatannya melanggar, tak
tahu adat. Tapi ada yang merasa terhibur melihat Ki Agus Sulaiman dan ikut berdendang.
Akan tetapi, yang sangat merasa khawatir adalah kedua orang tua Ki Agus
Sulaiman, mereka was-was bahwa anaknya akan dikenakan sanksi.
Kedua orang tua Ki Agus Sulaiman merasa mendapat petaka atas
perbuatan anaknya itu. Ayah Ki Agus Sulaiman segera mendatangi balai pertemuan
itu.
“Kau tahu! Balai pertemuan itu bukan tempat orang-orang seperti
kita. Yang masuk balai itu hanyalah para tokoh masyarakat. Jangan lagi
sekali-kali kamu datang ke tempat itu.” Kata ayah Ki Agus Sulaiman. Sejak
kejadian itu, Ki Agus Sulaiman hampir tak pernah keluar rumah. Padahal ayah dan
ibunya ingin sekali jika anaknya bisa membantu di lading, tapi Ki Agus Sulaiman
taka da hasratnya membantu ayah adan ibunya. Alat-alat music itu menjadi
temannya sepanjang hari. Ibunya merasa kesal melihat ulah anaknya itu.
“Apa yang kau kerjakan? Seharian hanya bermain gitar dan rebana!”
Tanpa diduga-duga, suatu hari datanglah seorang utusan dari balai
pertemuan. Ia mengatakan bahwa Ki Agus Sulaiman diminta datang ke balai
pertemuan. Kedua orang tua Ki Agus Sulaiman takut bukan kepalang. Mereka takut
anaknya akan mendapat hukuman karena telah melanggar peraturan. Tapi orang itu
membawa Ki Agus Sulaiman ke balai pertemuan. Setiba di balai pertemuan, para
tokoh masyarakat telah berada di ruang balai pertemuan, Ki Agus Sulaiman duduk
di antara para tokoh. Seorang ketua kampong tampil, ia mengatakan kampong itu
akhirnya memiliki nama.
“Berkat Ki Agus Sulaiman, saya putuskan bahwa nama kampong kita
ini adalah Sukadana. Nama ini kami ambil dari ketulusan Ki Agus Sulaiman yang
suka menghibur dan memberi uang pada orang lain. Ki Agus Sulaiman memang suka
menolong orang.
Ki Agus Sulaiman merasa senang. Ulahnya yang menurut kedua orang
tuanya akan mendapat petaka malah menjadi berkah. Sejak itu pula, balai
pertemuan bukan lagi tempat keramat. Tempat itu kini bisa didatangi oleh siapa
saja yang ingin mendengarkan pembicaraan para tokoh masyarakat. Balai pertemuan
menjadi tempat bertukar pikiran antara tokoh masyarakat dengan masyarakat
biasa. Sementara itu, Ki Agus Sulaiman terus memainkan alat musiknya.
Ia masuk kampong keluar kampong. Uang yang diperolehnya ia
kumpulkan dan ia berikan pada orang-orang yang membutuhkan.
Sumber : Legenda di Daerah Lampung, yang diceritakan kembali oleh Achmad. D., diterbitkan oleh Pustaka Anak Indonesia, Cibubur, Jakarta
No comments:
Post a Comment